Saturday 30 June 2012

Sahur


1. Hikmah Sahur
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183].

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima') setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut [Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut : Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin 'Ash Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur" [Hadits Riwayat Muslim 1096]

2. Keutamaannya

a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama'ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur" [Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata : "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya, red). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat, red)dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya hasan]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran" [Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!]

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih].

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.

Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda 'Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur". [Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].

b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar mema'afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur" [Telah lewat takhrijnya].

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma" [Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH].

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (yang artinya) : "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air" [Telah lewat Takhrijnya]

3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu.
"Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau shalat" Aku tanyakan (kata Anas), "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an" [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan]

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.

4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya - dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu" [Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.]

Dan beliau bersabda (yang artinya) : "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah" [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].

Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya) : "Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur" [Telah lewat Takhrijnya]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya) : "Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur" [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air" [Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan].

Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.

Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu 'alam.


Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
»»  READMORE...

Pentingnya Niat Puasa



1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih].

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].

Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154].

Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147].

Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta'ala a'lam.

2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari'at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari'at yang telah ditetapkan : "Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135].

Dan dari Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura" [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].

Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.

3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa' tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : "Apakah kalian puasa pada hari ini ?" sebagian mereka menjawab : "Ya" dan sebagian yang lainnya menjawab : "Tidak" (Kemduian) beliau bersabda : "Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini". Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih].

Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura".

Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent).

Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a'lam.

Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha'

Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a'lam.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : "Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : "Kalian puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha'lah kalian".

Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : "(Dia) tidak dikenal" Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : "Keduanya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil.
2. Ada 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

»»  READMORE...

Keutamaan dan Tingginya Kedudukan Puasa



Karena sebentar lagi kita memasuki bulan suci Ramadhan, saya akan mengulas tentang keutamaannya. Itu dapat dikatakan sebagai penyemangat (targhib) untuk umat muslim yang melaksanakan puasa.
1. Pengampunan Dosa
Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah ALLAH) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759, makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, -Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “ Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar" [Hadits Riwayat Muslim 233].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin].

2. Dikabulkannya Do'a dan Pembebasan Api Neraka
Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya" [Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri]

3. Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada
Dari 'Amr bin Murrah Al-Juhani[1] Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Datang seorang pria kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku ?" Beliau menjawab (yang artinya) : “ Termasuk dari shidiqin dan syuhada" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (no.11 zawaidnya) sanadnya Shahih]

Footnote :
[1]. Lihat Al-Ansab 3/394 karya As-Sam'ani, Al-Lubab 1/317 karya Ibnul Atsir

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

»»  READMORE...

Friday 29 June 2012

Penentuan Hilal di Awal Bulan Ramadhan dan Syawal


1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri

Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara :
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)

Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.

Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata :
“Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)

Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
 

2. Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya

Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.

Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa...
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.

Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.

Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal....

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397)


3. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?

Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :

Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.

Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.

Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.

Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”

Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)

Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)

Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”

Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)

Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.

Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)

Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?

Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.

Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”

Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).

Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”

Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.

Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)

Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)

Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).

4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang

Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).

Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.

Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133)

Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.

Catatan :
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).

Sumber artikel : http://www.salafy.or.id
»»  READMORE...

MAKNA LAA ILAAHA ILALLAH (TIADA TUHAN YANG BERHAK DISEMBAH MELAINKAN ALLAH)


Kalimat laa ilaaha illallah ini mengandung makna penafian (peniadaan) sesembahan selain Allah dan menetapkannya untuk Allah semata.
1.      Allah Subhanahu wata'ala  berfirman:
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah." (Muhammad: 19)
Mengetahui makna laa ilaaha illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun yang lainnya.
 
2.      Nabi Shallallahu'alaihi wasallam   bersabda:
"Barangsiapa mengucaphan laa ilaaha illallah dengan Keikhasan hati, pasti ia masuk Surga." (HR. Ahmad, hadits shahih)
Orang yang ikhlas ialah yang memahami laa ilaaha illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah) yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.
 
3.      Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,
"Wahai pamanku, katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah." (HR. Bukhari dan Muslim)
 
4.      Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab: "Katakanlah, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), maka mereka menjawab: 'Hanya satu tuhan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?' Demikian itu, karena bangsa Arab memahami makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya. Allah I berfirman kepada mereka:

"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mere-ka, 'Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)', mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? 'Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)'." (Ash-Shaffat: 35-37)

Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

"Barangsiapa mengucapkan, 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesua-tu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darah-nya (dirampas/diambil)." (HR. Muslim)

Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat mewajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo'a (memohon) kepada mayit, dan lain-lain-nya.
Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.
 
5.      Laa ilaaha illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepa-daNya, dan menjadikan syari'atNya sebagai hukum, bukan yang lain-nya.
 
6.      Ibnu Rajab berkata: "Al-Ilaah (Tuhan) ialah Dzat yang dita'ati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo'a (memohon) ke-padaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah Subhanahu wata'ala  . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu per-kara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan laa ilaaha illallah dan mengan-dung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.
 
7.      Sesungguhnya kalimat "Laa ilaaha illallah" itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam   bersabda:
"Barangsiapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallah, pasti ia masuk Surga." (HR. Hakim, hadits hasan)
»»  READMORE...

Musibah yang Terus Mendera


Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allah menimpakan adzab-adzab-Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allah, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allah Azza wa Jalla.
Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.
Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan . Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.
Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin.
Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim pun, lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan” [HR Bukhari, no. 100]
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”
Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).
Ilmu syar'i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) atas setiap muslim.
Oleh karena itu, ilmu syar'i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah Ta'ala berfirman:

هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[ar-Ra'd :11]
Sungguh, Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا


“Artinya : Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu” [al-Anfal : 29]
Dalam firman lain:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا


“Artinya : Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” [ath-Thalaq : 4]
Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.
Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku” [8]
Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.
Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi. demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu.
Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba` (mengikuti) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang beliau:

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا


“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [an-Nur : 54]
Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Disunting dari muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari]
»»  READMORE...

Thursday 28 June 2012

Berbagai Manfaat Wudhu


Berwudhu sangat bermanfaat bagi kita. Selain sebagai syarat untuk melakukan sholat, ia juga bermanfaat dalam hal kesehatan. berarti di sini, berwudhu memiliki manfaat dalam segi agama dan kesehatan.

Manfaat Wudhu dari Segi Kesehatan

1. Membasuh telapak tangan
Cuci tangan adalah cara pencegahan agar tidak terjangkit penyakit, seperti Hepatitis A, misalnya virusnya dapat dicegah masukke dalam tubuh dengan mencuci tangan, serta membasuh telapak tangan dapat merefleksikan diri, karena di telapak tangan terdapat banyak titik yang dapat menguntungkan bagi kesehatan kita. Menurut pandangan medis hal ini sangatlah rasional. Karena pada bagian tersebut terdapat banyak serabut saraf, arteri, vena, dan pembuluh limfe. Menggosok pada sela-sela jari sudah semestinya memperlancar aliran darah perifer (terminal) yang menjamin pasokan makanan dan oksigen.
Seorang ahli bedah diwajibkan membasuh kedua belah tangan setiap kali melakukan operasi sebagai proses sterilisasi dari kuman. Cara ini baru dikenal abad ke-20, padahal umat Islam sudah membudayakan sejak abad ke-14 yang lalu, yaitu dengan melakukan wudhu dan menganjurkan hidup dengan budaya menjaga kenersihan badan.

2. Berkumur-kumur
Amru bin Yahya menuturkan, “Rosulullah Shallallohu ‘alaihi wa salam berkumur dan membersihkan hidung masing-masing dengan tiga ciduk air” (HR. Muslim).
Ketika berkumur, berarti kita membersihkan mulut dari bau yang tidak sedap, dan itu dapat membuat kita lebih percaya diri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ahli kesehatan, pada air bekas cuci mulut ternyata terdapat kurang lebih 40 miliar bibit penyakit seperti virus. Keutamaan Berkumur Berkumur-kumur dalam bersuci adalah dapat membersihkan rongga mulut dari penularan penyakit. Sisa makanan yang mengendap atau tersangkut di antara sela gigi yang jika tidak dibersihkan (dengan berkumur-kumur atau menggosok gigi) akan menjadi mediasi pertumbuhan kuman. Dengan berkumur-kumur secara baik, benar dan dilakukan lima kali sehari berarti tanpa kita sadari dapat mencegah dari infeksi gigi dan mulut Tak salah bila kebersihan mulut sangat menjadi perhatian Rosulullah, sebagaimana yang tercermin dalam sabdanya, “Rosulullah Shallallohu ‘alaihi wa salam, apabila bangun tidur di malam hari beliau membersihkan mulutnya dengan siwak”(HR. Muttafaq ‘Alaih). Walhasil, kebiasaan wudhu dan manfaat dari bersiwak yang di ajarkan oleh Rosululloh adalah dapat menyegarkan, menambah semangat dan menghilangkan bau mulut.
Hasil penelitian ilmu medis mutakhir juga menyimpulkan bahwa wudhu mempunyai dampak yang baik dalam menjaga sakit gigi atau gusi. Menggosok gigi dan berkumur dengan menggunakan air merupakan suatu hal yang amat penting, bahkan seringkali para dokter menganjurkan resep tersebut. Aktivitas tersebut berfungsi untuk menjauhkan diri dari penyakit-penyakit yang mewabah melalui alat pernafasan, seperti radang selaput dan penyakit-penyakit pernafasan.

3. Membersihkan hidung
Abu Hurairah radhiyallohu berkata, “Rosulullah Shallallohu ‘alaihi wa salam bersabda, apabila salah seorang dari kamu berwudhu, maka hiruplah air dengan lubang hidung, kemudian hembuskanlah” (HR. Muslim).
Hidung merupakan tempat yang banyak mengandung kotoran, karena setiap bernafas, semua kotoran yang terhirup disaring di hidung. Maka, dengan menghirup (istinsyaq) dan mengeluarkan air hidung (istinsar), semua kotoran dan kuman penyakit yang ada dapat dicegah masuk ke dalam tubuh serta dapat mempermudah proses pernafasan. Selain itu, dengan sering melakukan istinsyaq dan istinsar, kita dapat terhindar dari flu, dan kalaupun terserang, pasti akan segera sembuh, karena kuman-kuman atau virus yang ada akan segera hilang dari lubang hidung. Selain itu istinsyaq juga bisa untuk mensucikan selaput dan lendir hidung yang tercemar oleh udara kotor dan juga kuman. Selama ini kita ketahui selaput dan lendir hidung merupakan basis pertahanan pertama pernapasan. Dengan istinsyaq mudah-mudahan kuman infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat dicegah. Begitu pula dengan pembersihan telinga sampai dengan pensucian kaki beserta telapak kaki yang tak kalah pentingnya untuk mencegah berbagai infeksi cacing yang masih menjadi masalah terbesar di negara kita.
Hasil penelitian yang dilakukan salah satu komite kongres antar negara-negara Islam di Kairo mengatakan bahwa membersihkan hidung sebanyak 5 x dalam setiap wudhu dapat menjaga kenyamanan rongga-rongga itu dari penyakit infeksi peradangan, sehingga organ-organ tubuh terlindungi dari serangan kuman yang bersarang di dalam rongga hidung.
Dalam buku yang berjudul “Al-I'jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah” dijelaskan, ilmu kontemporer menetapkan setelah melalui eksperimen panjang, ternyata orang yang selalu berwudhu mayoritas hidung mereka lebih bersih, tidak terdapat berbagai mikroba. Dari hidung, kuman masuk ke tenggorokan dan terjadilah berbagai radang dan penyakit. Apalagi jika sampai masuk ke dalam aliran darah. Barangkali inilah hikmah dianjurkannya istinsyaaq (memasukkan air ke dalam hidung) sebanyak tiga kali kemudian menyemburkannya setiap kali wudhu.

4. Membasuh wajah
Dengan membasuh wajah depresi dapat berkurang dan sekaligus membuat wajah terasa lebih segar dan sehat. Tak hanya itu saja, membasuh wajah juga dapat mencegah penuaan dini dan membantu kulit untuk bernafas. Kulit yang sebelumnya masih tertutup oleh debu atau make updapat dibersihkan dengan membasuh wajah, sehingga kulit dapat bernafas lagi.

Pada malam hari, kulit bekerja lebih keras, saat itu terjadi hal khusus dalam perilaku kulit. Aliran darah menjadi meningkat, kebutuhan oksigen semakin banyak dan metabolisme kulit meningkat. Semua ini merupakan indikator bahwa kulit mempersiapkan diri untuk memperbaiki diri. Secara alami, kulit memperbaiki kerusakan yang terjadi saat aktivitas siang hari dan kulit mempersipkan diri untuk menghadapi hari esok.

5. Membasuh tangan hingga siku
Menurut para pakar, membasuh kedua tangan dapat membuang energi buruk yang ada di dalam tubuh melalui ujung jari yang dialiri air. Pada tangan sampai siku juga terdapat titik akupuntur yang menyembuhkan penyakit pada dada, paru-paru, tenggorokan, lambung, jantung dan organ gerak bagian atas. Titik-titik yang dapat menghilangkan rasa cemas pun terdapat pada bagian ini.

6. Mengusap kepala
Dengan membasuh kepala, pikiran menjadi jernih, ingatan menjadi tajam, rambut tidak cepat rontok dan terhindar dari penyakit Alzheimer pikun. Hal ini dikarenakan pada dahi terdapat titik-titik yang berhubungan dengan otak dan syaraf manusia.

7. Membasuh telinga
Membasuh telinga dapat merangsang titik pendengaran dan keseimbangan, serta dapat membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di lekukan-lekukan telinga.
Pada bagian telingga juga ada titik akupunturnya. Menurut cabang spesifikasi kedokteran di China, bagian telinga bisa direpresentasikan sebagai tubuh manusia. Bentuk telinga ini serupa dengan bentuk tubuh saat meringkuk dalam rahim ibu. Kepalanya adalah bagian yang sering dipasang anting. Dalam lubang adalah rongga tubuh tempat tersimpannya organ-organ dalam. Melakukan stimulasi seperti wudhu akan berpengaruh baik terhadap fungsi organ dalam. Adapun lingkaran luar menggambarkan punggung. Pemijatannya juga seolah melakukan stimulasi daerah punggung dan ruas-ruas tulang belakang.

8. Membasuh kaki
Wudhu yang dilakukan 5 x sehari dapat menghilangkan unsur-unsur kimia dari kulit luar dan mencegah terjangkiti penyakit kanker. Cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet mempuyai dampak buruk bagi kulit, yaitu dapat menciptakan kanker kulit, namun sinar ini hanya akan menimpa organ-organ tubuh luar. Dengan berwudhu, maka kulit luar menjadi selalu basah dan sel-sel lapisan dalam kulit dapat terhindar dari sengatan sinar yang membahayakan tubuh.
Dr Ahmad Syauqy Ibrahim, peneliti bidang penderita penyakit dalam dan penyakit jantung di London mengatakan: "Para Pakar sampai pada kesimpulan mencelupkan anggota tubuh ke dalam air akan mengembalikan tubuh yang lemah menjadi kuat, mengurangi kekejangan pada syaraf dan otot, menormalkan detak jantung, kecemasan, dan insomnia (susah tidur).

Manfaat Wudhu dari Segi Agama

a. Menghilangkan dosa
Abdullah as-Shanabiji meriwayatkan, Rosulullah Shallallohu ‘alaihi wa salam bersabda, “Apabila seseorang berwudhu dan dimulai dengan kumur-kumur, maka keluarlah semua dosa dari mulutnya. Apabila dia membersihkan hidung, maka keluarlah semua dosa dari hidungnya. Apabila dia membasuh muka, keluarlah semua dosa dari wajah dan kedua matanya. Apabila dia membasuh kedua tangan, maka keluarlah semua dosa dari kedua tangan itu hingga dari kuku-kuku jari tangannya. Apabila dia membasuh kepala, maka keluarlah dosa dari kepalanya hingga ke telinga. Dan apabila membasuh kedua kaki, maka keluarlah semua dosa dari kaki dan dari kuku-kuku jari kakinya. Kemudian, perjalanannya ke masjid dan sholat sunnah di dalamnya akan mendatangkan tambahan pahala untuk dirinya” (HR. Nasai)

 b. Sebagian dari iman
Abu Malik al-Asy’ari berkata, “Rosulullah Shallallohu ‘alaihi wa salam bersabda, “Bersuci itu separuh dari iman, bacaan Alhamdulillah itu memenuhi timbangan (mizan), bacaan subhaanallah wal hamdu lillah pahalanya memenuhi ruang antara beberapa langit dan bumi, sholat adalah cahaya, sedekah adalah bukti keimanan, sabar adalah sinar dan Al-Qur’an adalah hujjah yang mendukungmu atau mengalahkanmu, setiap orang itu pergi lalu menjual dirinya. Maka ada orang yang memerdekakan dirinya dan ada yang membinasakan dirinya”(HR. Muslim)

c. Mengangkat derajat
Rosulullah bersabda, “Apakah kamu ingin aku tunjukkan sesuatu yang akan menghapus kesalahan dan mengangkat derajat.” Mereka berkata (sahabat), “Tentu ya, Rosul !” Sempurnakanlah wudhu … dan perbanyaklah melangkah ke masjid …. “ (HR. Muslim)

d. Menghilangkan amarah
Rosulullah bersabda, “Marah itu bersumber dari setan. Setan itu diciptakan dari api, sedangkan api dapat dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, bila salah seorang di antara kalian marah, maka hendaknya dia memadamkannya dengan wudhu” (HR. Ahmad)
Saya edit dari blog http://iman-nurzaman.blogspot.com
Semoga bermanfaat ^_^

»»  READMORE...

Lebihnya Perempuan


Doa perempuan lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayangnya yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah akan hal tersebut, jawab baginda, "Ibu lebih penyayang daripada bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia".

Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah mencatatkan baginya setiap hari dengan 1.000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1.000 kejahatan.

 Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah.

Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.

 Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan..

 Apabila semalaman ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah memberinya pahala seperti memerdekakan 70 hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah.

 Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang sentiasa menangis karena takut akan Allah dan orang yang takut akan Allah, akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.

Barangsiapa membawa hadiah, barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedekah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barangsiapa yang menyukakan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak NabiIsmail.

 Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya(10.000 tahun).

 Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana saja yang dikehendaki.

 Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 1.000 lelaki yang soleh.

 Aisyah berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab Rasulullah, "Suaminya. "Siapa pula yang berhak terhadap lelaki?" Jawab Rasulullah, "Ibunya".

Apabila memanggil akan engkau dua orang ibu bapakmu, maka jawablah panggilan ibumu dahulu.

Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung diudara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama dia taat kepada suami serta menjaga sembahyang dan puasanya.

Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

 Syurga itu di bawah tapak kaki ibu.

Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku Nabi SAW) di dalam syurga.

Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya syurga.

Dari Aisyah r.a., Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuan lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.
»»  READMORE...

Tuesday 26 June 2012

Muslimah



Perempuan itu punya kecenderungan bersolek. Mereka akan rela merogoh kocek seberapapun untuk mempercantik diri. Berdandan sich boleh-boleh saja bahkan dianjurkan. Namun, ada aturannya, gak boleh berdandan semaunya sendiri. Karena pada saat yang sama berarti mereka mengijinkan dirinya untuk dinikmati oleh kaum adam. Kita mesti tau, laki-laki itu syahwatnya gampang banget naik sampe seratus derajat kalau melihat penampilan sang hawa yang seronok plus norak. Akan tetapi, hanya bagi laki-laki yang gak beriman saja yang bakal tergoda akan tingkahnya.
Rasulullah pernah mengatakan bahwa,” Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita shalihah”. Namun untuk menjadi perhiasan itu syaratnya kita kudu menuruti aturan-aturan islam dalam segala hal, termasuk soal berdandan. Aturan yang bisa jadi rambu-rambu kita dalam berdandan, yaitu:
Jangan memakai wangi-wangian di tempat umum
Bagi  yang punya problem BB, jangan tergoda untuk pake parfum di depan umum yah. Cukup dengan anti BB yang udah banyak beredar, dari jenis bedak sampe roll on.
Rasulullah bersabda: “ Siapa saja perempuan yang memakai wangi-wangian kemudian melewati satu kaum supaya mereka mencium baunya, maka perempuan tersebut dianggap zina, dan tiap-tiap mata ada zinanya.”(HR. Nasa’i)
Jadi,  jangan ijinin kita menjadi pusat perhatian karena punya BB yang kecut alias bau asem ataupun bau wangi menyengat dari badan kita.
Jangan menyerupai laki-laki
Bentuk tubuh laki-laki dan perempuan tuh berbeda, dari perbedaan inilah melahirkan mode pakaian yang berbeda pula. Jangan sampe kebalik, seperti sekarang yang memang sudah ngetrend kebiasaan tuker-tukeran pakaian.
Sahabat Abi Hurairah menegaskan bahwa: “Rasulullah sangat melaknat orang laki-laki yang mengenakan pakaian wanita, dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki”.
Dilarang menampakkan perhiasan
Bagi kaum hawa, boleh-boleh saja memakai perhiasan dari emas maupun dari perak. Namun, tidak diperbolehkan buat diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan mahramnya alias di tempat-tempat umum. Kalaupun dipakai, kewajiban kita yaitu menutupinya, karena kalau tidak akan nimbulin fitnah.
 
Nah, beberapa tempat perhiasan yang memang gak boleh diperlihatkan yaitu, di leher dan telinga, karena termasuk kategori aurat. Tapi ingat yah, seorang wanita dilarang keras buat mendengarkan gemerincingnya perhiasan yang dipakai pada kedua kakinya yang ada di balik baju.
»»  READMORE...

Friday 22 June 2012

Ujian ALLAH SWT Pada Titik Lemah Kita


Allah Swt akan senantiasa menguji kita pada titik terlemah kita. Sampai kita berhasil memperbaiki kelemahan itu. Diantara kita mungkin pernah mengalami suatu pemasalahan yang sama dalam waktu yang berbeda. Dan tak jarang diantara kita berkata, "Kok saya selalu dihadapkan oleh masalah yang sama sich, masalah ini terus, ga da beres- beresnya. Kapan saya bisa melewatinya...."

Selalu dihadapkan oleh masalah krisis ekonomi,hubungan dengan lawan jenis, sekolah/ kuliah yang tidak beres, hubungan dengan keluarga, dan masalah-masalah lainnya. Sepertinya tidak bijak kalau kita menyebut "masalah", kita ganti dengan istilah cobaan/ujian karena pada hakikatnya itu datang dari Allah Swt, dan supaya pikiran kita tidak menangkap energi negatif dengan kata "masalah".

Nah itulah hidup, kita akan selalu dihadapkan pada ujian satu dan beralih pada ujian baru ketika satu ujian telah kita selesaikan dengan cara kita.
Seperti seorang murid yang mendapatkan ujian dari gurunya terhadap matapelajaran yang telah dia ajarkan. Murid tersebut akan lulus jika jawabannya benar dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh gurunya. Dan sebaliknya, jika tidak lulus, gurunya akan memberikan ujian perbaikan "her" agar bisa lulus dan naik kelas. Matapelajaran yang diujikan sama tapi mungkin soal- soalnya saja yang sedikit ada perbedaan.

Nah seperti itulah analogi ujian kehidupan yang diberikan Allah kepada kita.
Allah Swt akan memberikan ujian yang sama kepada kita sampai kita benar-benar dianggap lulus oleh Allah Swt dan layak dinaikkan derajatnya. Kalau kita mau renungkan, itu adalah bentuk kasih sayang Allah Swt kepada kita. Seperti seorang guru yang sayang pada muridnya, ia bersedia memberikan kesempatan kedua agar muridnya lulus, tidak membiarkannya tertinggal.

Tentunya kasih sayang Allah Swt jauh lebih besar terhadap hamba- Nya. Dia ingin, saat kita mendapat ujian yang lebih berat/besar lagi kita sudah siap dan akan melaluinya dengan baik pula. Dan tentunya kita tidak meninggalkan ujian yang nilainya buruk dihadapan Allah Swt.
Semua ujian darinya adalah untuk menguji tingkat keimanan kita sebagai makhluk- Nya.
Apakah kita mampu bertahan dan melaluinya dengan cara terbaik dan sesuai dengan yang disyariatkan oleh-Nya. Tidak mengeluh dan berkeluh kesah. Seharusnya dengan ujian itu menjadikan kita lebih dekat kepada-Nya, memohon bantuan kepada-Nya karena Dia lah yang memberikan ujian dan Dia pulalah yang akan membantu kita menyelesaikannya.

Keyakinan kita akan kemampuan kita (dilandasi keyakinan kepada Allah) dalam menyelesaikan ujian akan sangat membantu kita untuk melalui semua ujian kehidupan ini. Karena "Allah Swt sesuai dengan prasangka hamba- Nya" dan Kita adalah apa yang kita pikirkan. Ada masalah/ujian/co baan Insya Allah pasti ada solusinya. Ujian dari Allah, solusinya juga datang dari Allah. Tinggal kita saja mau atau tidak berusaha mencari solusi itu.
Tidak berdiam diri menunggu sang solusi datang begitu saja!!!

Have a day full of smiles, good work and love!
Because Smile is the Melody of the Soul. Work is the Service of the Spirit and Love is the Gift of the heart.

»»  READMORE...