Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi
Jauhnya jarak kita dari sikap syukur
kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta
perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allah menimpakan adzab-adzab-Nya.
Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali
sepenuhnya kepada agama Allah, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui
kepada keteguhan di atas perintah Allah Azza wa Jalla.
Karena, syukur nikmat merupakan
sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya,
mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan
menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan
menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.
Orang yang melihat sembari merenung,
dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada
dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian
belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan .
Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya
manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.
Akan tetapi, kemunduran masih terus
terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka
dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah
sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin
Abdul Hamid al Halabi menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah
penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at
Rabbul 'Alamin.
Dalam Shahihain (dua kitab Shahih),
Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah
bin 'Amr bin al 'Ash, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“ Sesungguhnya Allah tidak akan
mencabut ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan
meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim pun,
lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat
dan menyesatkan” [HR Bukhari, no. 100]
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin
Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”
Mereka (para pemimpin yang bodoh
itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di
sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk
hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu
(agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar
dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan
menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).
Ilmu syar'i (agama) yang sarat
kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya
sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain
(kewajiban individu) atas setiap muslim.
Oleh karena itu, ilmu syar'i
merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah
Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri”[ar-Ra'd :11]
Sungguh, Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan
memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan,
tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada
pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang
terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu
kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan
reputasinya terdahulu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا
“Artinya : Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan
memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu” [al-Anfal
: 29]
Dalam firman lain:
Dalam firman lain:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Artinya : Dan barangsiapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya” [ath-Thalaq : 4]
Oleh karena itu, ilmu merupakan batu
pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang
pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi
asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.
Ilmu yang tegak di atas cahaya,
petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah
disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku” [8]
“Artinya : Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku” [8]
Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah
cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang.
Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya
bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.
Bukankah waktunya sudah dekat?
Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah,
jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita.
Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi. demikianlah
penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu.
Adapun penyakit kedua yaitu penyakit
bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba` (mengikuti) Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang
beliau:
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [an-Nur : 54]
Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang
berasaskan Sunnah, sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya,
kesesatannya, dan kegelapannya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Disunting dari muhadharah di Masjid Istiqlal
Jakarta, Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, Diterjemahkan oleh Ustadz
Abu Isma’il Muslim Al-Atsari]
No comments:
Post a Comment