Ali
radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,
“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena
itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah
baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3
kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau
belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang
tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang
bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena
senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh
cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya
1/70-80).
Hati yang Terbaik
Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini, adalah suatu wasiat
yang terkenal di kalangan para ulama yang menjelaskan kategori manusia.
Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka
hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi
oleh pemahaman terhadap Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena mereka yang memahami Al Qur-an dan sunnah rasul-Nya adalah
orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala untuk memperoleh kebaikan
sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya
dalam urusan agama.” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).
Pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, rasulullah menyebutkan
lafadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah
(indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna
yang umum dan luas. Seakan-akan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang,
maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap
agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang
mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.
Dari hadits di atas juga, kita dapat memahami bahwasanya mereka yang enggan
mempelajari agama Allah ta’a a, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh
kebaikan.
Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan
hadits di atas, beliau mengatakan,
“Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama,
dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam
dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia
diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).
Sang Alim Rabbani
Kemudian khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan bahwasanya
manusia terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah عالم رباني
seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan dan menyebarkan ilmunya. Karena
seorang alim rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh imam Mujahid rahimahullah
ta’ala,
”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum
mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” (Tafsir Al Qurthubi 4/119).
Maka, seorang rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang
yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu yang benar
yaitu yang berupa Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh imam Asy Syafi’i
rahimahullah
Setiap ilmu selain Al Qur-an akan menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih
Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu
yang berdasar kepada wahyu)
Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan syaithan semata (Diwan al Imam
asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).
Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah ilmu yang mereka
ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat hingga
mereka mengamalkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan
dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi
manusia namun justru membakar dirinya sendiri.” (Al Jami’ush Shaghir wa
Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).
Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan
Jika kita bukan termasuk kategori yang pertama, maka hendaknya kita menjadi
orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai متعلم على سبيل نجاة
yaitu seorang yang mau belajar dan orang inilah orang yang berada di atas jalan
keselamatan.
Maka benarlah apa yang beliau katakan, karena sesungguhnya seorang yang terus
mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju surga sebagaimana yang
disabdakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor 2699).
Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة orang yang berada di atas jalan keselamatan.
Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)
Adapun orang yang selain kedua golongan ini. Maka hal ini adalah sesuatu yang
memalukan dan sangat berbahaya.
Kata beliau mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna.
Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang
berkomentar dan mengikuti kemana arah angin bertiup.
Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan
mengikutinya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak
memiliki pendirian, ketegasan sikap karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia
adalah seorang yang bingung.
Maka beliau katakan bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti
kemana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya
dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang
kokoh dan kuat sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki
pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada
di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi dan bisa jadi dia celaka
dikarenakan hal tersebut.
Persis seperti kejadian yang terjadi di masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ada seorang yang terlempar dari untanya, maka kepalanya pun terluka.
Namun pada malam hari, dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam
kondisi junub. Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap dikarenakan minimnya
ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di
sampng kanan dan di samping kirinya. Apakah ia harus mandi untuk bersuci atau
dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.
Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memperoleh jawaban
yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan bahwa dia tetap harus mandi karena
tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya. Akhirnya orang ini pun mandi, dan
ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi
seorang muslim, yaitu bagaimana cara seorang muslim harus bersuci, kapan dia
harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.
Demikian pula, seorang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakekatnya dia
bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah
nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang
yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup.
Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan,
Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar
Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya
Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda
Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat (Diwan al Imam
asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).
Urgensi Menuntut Ilmu Agama
Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung
kita sebagai umat Islam untuk mempelajari agama ini dengan benar, karena diri kita
sangatlah butuh akan ilmu agama ini.
Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,
“Manusia sangat membutuhkan ilmu melebihi kebutuhan terhadap roti dan air,
karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya
dibutuhkan manusia sekali atau dua kali” (Al Adab asy Syar’iyyah 2/44-45).
Faktor yang membuat kita memahami urgensi menuntut ilmu syar’i di saat ini
adalah jika kita mengamati realita keagamaan di sekitar kita. Jika kita mau
mengamati, betapa banyak pada zaman sekarang orang-orang yang berbicara tentang
agama Allah ini tanpa dilandasi dengan ilmu.
Mantan artis yang baru saja berkubang dengan kemaksiatan, kemudian merubah
penampilan sehinga nampak shalih dijadikan ikon keshalihan dan dijadikan tempat
bertanya mengenai permasalahan agama. Seorang yang tidak pernah mengenyam
pendidikan agama secara formal, tidak memiliki background pendidikan agama,
tidak tahu bahasa Arab, tidak menghafal al Qur-an begitupula tidak tahu-menahu
mengenai hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai pendapatnya
dalam permasalahan agama.
selengkapnya, baca di: www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment