Friday 6 July 2012

Senyum, Sedekah yang Mudah dan Murah


Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu seseorang?
Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal mengetahui seseorang
itu. Bisa juga karena kita menyukai atau menghormati orang tersebut, karena
memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin juga sekadar basa basi. Apa pun
itu, saya belajar banyak soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26
tahun dari saya.

Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari
rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar kami. Empat
tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan bagaimana cara ia
menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, tak
akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar Faiz.

"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu..."

"Assalaamu'alaikum...."

"Mari Oma, mari Opa..."

"Dari mana, Tante?"

"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"

"Mau kuliah, Bang?"

"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"

Dan seterusnya....

Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," Mas Faiz,apa
kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"

Faiz tertawa. "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin
bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain.
Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."

Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur
delapan tahun. "Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin
sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.

Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap
membicarakan Faiz.

"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu menegur lebih
dulu, senyumnya manis sekali."

"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"

Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik
Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar
dari Faiz!

Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku
SD.

Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya,
diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan perkedel." Atau "Bapak
mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk?

Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan
mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.

Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh
mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek.
Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?" Selain
itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu
dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya. "Apa salahnya
sih menolong orang?" ujarnya.

Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana kami
memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah
siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.

"Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata Saya hanya
mampu memeluk Faiz kuat-kuat.

Sumber : Facebook

No comments:

Post a Comment